welcome olive ......

jadilah olive yang setia kepada popeye ...

Sabtu, 20 Agustus 2016

Coming soon....!!!

Alhamdulillah...
Akhirnya novel perdana saya sebentar lagi terbit 😆😆😆
.
"Diary Istri Seorang Pelaut"
Sebuah kisah perjalanan rumah tangga yang senantiasa terpisah jarak, terhalang waktu dan teruji rindu...
.
Akankah rindu itu selalu bertemu dg pemiliknya? Mampukah mereka bertahan menahan perasaan ingin terus selalu bersama?
.
Temukan jawabannya dalam novel ini. Novel yang ditulis berdasarkan kisah hidup si Penulis bersama sang suami.
.
Novel "DISP" ini ready tgl 9 September 2016 bagi yang ikut Pre Order (PO).
.
PO dibuka tgl 17 Agustus - 9 September 2016. Bagi yang sudah mendaftar dan melakukan pembayaran tepat waktu, novel akan dikirim selambat-lambatnya tgl 15 September 2016.
.
Dapatkan free GoodyBag dan signature Penulis bagi yang ikut PO novel "DISP".
.
Bagi yg tidak ikut PO, nantikan novel "DISP" di toko-toko buku kesayangan anda 😆😆😆

Sabtu, 09 Juli 2016

Kami Bertahan Untuk Cinta

Hangatnya semburat cahaya mentari pagi ini sehangat senyumku yang merekah sedari tadi. Pagi yang indah di hari yang fitri. Aku sedang tersenyum mendekap ponselku sambil menghela nafas lega dan perasaan bahagia. Ku ucap syukur pada Yang Kuasa karena masih melindungi suamiku di rantauan sana. Aku cukup bahagia mendengar suaranya meski hanya sekejap saja. Setidaknya bahagiaku lengkap di hari raya ini saat ku tahu bahwa dia baik-baik saja di sana. Aku tak berharap lebih. Aku tak kan memaksa keadaan menjadi lebih indah dari kenyataan yang ada. Kebersamaan di sini memang  tak kan lengkap tanpa kehadirannya, tetapi aku sangat menyadari bahwa kebahagiaan di sini dapat tercipta berkat perjuangannya di lautan sana.
.
Ini adalah lebaran di tahun ke lima pernikahan kami. Memang belum pernah sekalipun kami dapat merayakannya bersama-sama, tetapi aku sangat bahagia saat menyadari bahwa sebenarnya kami kuat sekali hingga sejauh ini. Aku ingat sekali pada suatu waktu beberapa tahun yang lalu. Ketika penantian ini terasa berat dan sangat menyiksa. Ternyata rasa menderita yang selalu ku rasa itu membawaku menjadi lebih dewasa. Dewasa dalam memahami keadaan. Dewasa dalam menyikapi perpisahan, menghadapi segala ujian, mengobati kerinduan dan menghargai pertemuan.

Aku letakkan ponselku di atas meja ketika anak-anak mulai berteriak memanggilku. Mereka menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Ya, tentu saja tentang keberadaan ayah mereka. Aku bersimpuh di depan mereka, ku tatap wajah mereka satu persatu lalu aku tersenyum. Ku belai rambut mereka dan dengan lembut aku berusaha menjelaskannya. Seperti biasa. Ya, keadaan seperti ini adalah biasa. Hampir setiap hari aku menjelaskan kepada mereka tentang keadaan ini. Dan aku tak pernah bosan melakukannya, membuat mereka sedikit paham dengan apa yang aku katakan.

“Ayah kerja sayang… Kapalnya masih di tengah laut. Kasihan ya Ayah nggak ngrasain lontong opornya Bunda, hihihi… Kita doain aja yuk, biar Ayah baik-baik saja dan cepet pulang deh…”, kataku menghibur anak-anakku yang perlahan-lahan mulai tersenyum setelah cemberut seharian. “Iya Bun… Nanti kalau Ayah pulang Bunda masakin Ayah lontong opor lagi ya Bun…” kata Danish dengan logat cadel diikuti tawa renyah Delish, anak perempuanku. Aku hanya tertawa kecil saat mendengarnya. Dalam hatiku aku benar-benar terharu mendapati anak sekecil ini memahami ketiadaan ayahnya. Ku peluk mereka dengan erat sambil berusaha menahan air mata agar tak merusak kehangatan di hari yang suci ini. Lalu ku ajak anak-anakku menuju ruang makan. Menikmati sajian di hari istimewa ini bersama-sama, ya… Meski hanya bertiga saja.
___

Malam ini aku duduk termenung di sudut kamar. Suasana telah begitu sepi karena anak-anak sudah tertidur pulas setelah seharian menikmati riuh rendah suasana lebaran hari ini. Mataku memandang ke luar jendela yang telah basah oleh rintikan air hujan. Dingin, gelap dan sepi. Tanganku meraih sebuah buku yang tergeletak rapi di ujung meja. Ku usap sampulnya yang sedikit berdebu. Ku buka perlahan dan ku baca pelan-pelan sebentuk kalimat di halaman pertama. “Catatan Istri Seorang Pelaut”. Hmm… Aku tersenyum sendiri dan melanjutkannya pada halaman ke dua. Lalu pada halaman ketiga dan seterusnya. Memoriku melayang seketika pada suatu masa. Masa dimana aku masih merasa bahwa hidupku sangat berat. Setiap saat menghadapi segala ujian hidup semenjak bersamanya.
Di halaman-halaman awal buku kecil itu berkali-kali aku menulis bahwa aku ingin menyerah. Betapa aku tak kuasa menghadapi perpisahan, tak sabar dalam penantian, tersiksa dalam kerinduan. Aku tersenyum geli dan menghela nafas panjang. Lalu aku bersyukur telah berhasil melewati masa-masa sulit itu dan bisa bertahan mendampinginya hingga detik ini. Aku bersyukur masih diberi kekuatan di setiap saat menghadapi perpisahan dengan suamiku. Aku bersyukur masih diberi kesabaran dalam menanti kepulangannya. Pun aku sangat bersyukur masih diberi rasa rindu yang menggelora padanya. Rasa rindu yang selalu ku jaga, rasa rindu yang selalu menambah cintaku padanya.
.
Ku seruput secangkir kopi yang menemaniku terjaga malam ini. Kemudian aku berbalik menatap kedua anakku yang telah tertidur pulas di atas ranjang. Ranjang yang dulu selalu terlihat luas ketika ku berbaring sendiri dengan air mata yang berderaian. Aku memandang wajah kedua anakku dengan perasaan haru. Di satu sisi aku bersyukur bahwa penantian ini tak lagi terasa begitu berat semenjak ada mereka. Rindu yang menggebu itu tak begitu menyiksa semenjak ada tawa mereka. Lalu kebersamaan itu menjadi semakin berharga ketika kami dapat berkumpul bersama meski sedemikian singkatnya. Namun di sisi lain ada sebuah kesedihan yang tak dapat kupungkiri ketika mengetahui anak-anakku pun ikut berjuang menahan rindu pada ayahnya di usia yang sekecil ini. Masa yang seharusnya penuh dengan kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Masa yang tak seharusnya ikut merasakan kesedihan saat setiap kali menghadapi perpisahan. Masa dimana mereka seharusnya tak selalu beradaptasi ketika ayahnya pulang. Ya, karena berpisah terlalu lama mereka kadang tak mengenali sosok ayahnya ketika pulang. Ah… Tak terasa air mataku menetes, mengalir deras karena haru akan ketegaran anak-anakku.
.
Ku hapus genangan air mata yang masih tersisa di pelupuk mataku. Dalam hati aku berjanji, agar air mata ini tak terlalu sering mengalir meratapi jalan hidupku yang seperti ini. Aku berjanji dalam hati untuk menjadi lebih kuat untuk mereka, anak-anakku. Aku berjanji untuk tetap tegar dan sabar untuk menghadapi ujian bernama perpisahan, kerinduan dan penantian. Karena kekuatanku, ketegaranku dan kesabaranku tak lain dan tak bukan hanyalah untuk mereka, kedua anakku. Aku berjanji sepenuh hati, untuk menjadi seorang ibu yang baik untuk mereka, dan juga menjadi seorang ayah ketika suamiku tak ada di rumah. Akan ku ubah air mata yang dulu menghiasi hari-hariku menjadi sebuah semangat dalam menghadapi pernikahan yang terpisah jarak ini.
.
Ingin sekali malam ini ku katakan pada suamiku. Bahwa jarak itu bukan penghalang, bahwa waktu itu sama sekali tak mengganggu, bahwa berpisah itu bukan berarti tak indah, bahwa penantian itu tak selalu menyakitkan dan kerinduan adalah sebuah kekuatan. Maka kita tak akan pernah jauh karena jarak, tak akan pernah lekang oleh waktu, tak akan pernah menyerah karena berpisah, cinta kita tak akan pernah mati karena menanti dan kita akan selalu merindu setiap waktu. Kita bertahan karena cinta. Dan cinta itulah yang akan membawa kita pada sebuah pertemuan indah di waktu yang Tuhan tentukan untuk kita. Seperti katamu Suamiku, aku akan selalu bersabar, bersabar dan bersabar. Untuk sebuah kata indah bernama “pertemuan” .
Ku balik halaman terakhir buku ini dan ku ambil pena untuk ku goreskan pada halamannya yang masih kosong. Aku menulis dengan perasaan penuh cinta, denga kekuatan dan ketegaran yang luar biasa untuk suamiku tercinta. Aku menulis sambil sesekali ku pandangi wajahnya yang terbingkai rapi di atas meja.
.
“Suamiku, kekasih hatiku…
Melepasmu itu hal yang biasa. Meski selalu ada air di pelupuk mata.
Aku pun tahu, di hatimu juga tersirat kepiluan setiap kali menghadapi perpisahan.
Apalagi saat kau tatap mata-mata kecil nan sayu itu seolah merengek tak ingin berjauhan denganmu.
Tetapi aku juga tahu, di bahumu terpikul beban yang amat sarat karena sebuah janji bernama kebahagiaan.
Sudah menjadi rumus kehidupan bahwa berpisah itu menyakitkan dan bersama itu menyenangkan.
Tetapi demi masa depan, kebersamaan itu rela kita gadaikan.
Aku selalu berusaha tegar setiap kali melepasmu kembali berjuang di lautan sana. Aku tak sanggup membantu apapun selain hanya doa. Dan kami akan selalu menantimu dengan setia.
.
Berlayarlah…
Tak peduli sejauh mana, tak peduli negara mana kan kau labuhi.
Karena kau kan tetap selalu di hati. Hadir bersama rindu yang setiap saat mengalir dalam pembuluh nadi. Dan pasti kan kembali membawa harapan-harapan kami.
Selamat bekerja Yah…
Sampai nanti…
Sampai bertemu lagi…”
.
Dariku, perempuan yang mengharapmu cepat pulang.

Kamis, 07 Januari 2016

Perjuanganku Tanpamu...

"Pasien nomer 2 sudah hampir lengkap ya Mbak, selalu pantau”, teriak dokter obsgin setelah selesai memeriksaku. Aku tak berhenti merintih bahkan berteriak merasakan luar biasanya sakit di seluruh perutku. Airmata dan keringat bercampur menjadi satu. Entah seperti apa tangan Ibu yang sedari tadi ku genggam dan ku cubit sebagai pelampiasanku menahan sakitnya menghadapi persalinan. Berkali-kali aku memanggil perawat dan dokter meminta mereka mengakhiri penderitaanku. Tetapi mereka tetap saja memintaku untuk tenang. “Ini baru pembukaan 7 Bu, yang sabar ya… Atau barangkali pengen telpon suaminya, kali aja habis ditelpon langsung lahir ini anaknya”, kata perawat mencoba mengajakku bercanda. Tetapi yang ada malah aku yang semakin sakit mendengar candaanya. Mana mungkin aku bisa menghubunginya, dia kan sedang di tengah laut, kalau saja dia bisa dihubungi pasti sudah dari tadi aku menelponnya, kataku dalam hati. Air mata ini semakin mengalir dengan derasnya. Merasakan sakitnya jiwa dan raga. Sungguh, belum pernah aku merasa sebegitu tersiksanya seperti saat ini.

“Nduk, ada benernya kata perawat tadi, Ibu coba telpon suamimu ya?”, kata Ibu di tengah-tengah kesakitanku. “Nggak mungkin bisa Bu, dia lagi di tengah”, ucapku sambil terisak. “Nggak ada yang nggak mungkin”, sahut Ibu sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ku pandangi wajah Ibu yang sedang mencoba menghubungi suamiku. Berkali-kali dia mencoba dan mencoba. Tetapi hanya desahan nafas panjang Ibu saja yang menjadi jawaban. “Sudahlah Bu, Mas memang nggak bisa dihubungi”, lirihku. Lalu dengan wajah kecewa Ibu menutup ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam tas.

Sudah hampir satu jam berlalu setelah dokter memeriksaku. Sekarang rasanya sudah bertambah luar biasa. Aku berteriak sejadi-jadinya karena rasanya aku sudah tak kuat lagi. Semua perawat dan seorang dokter obsgin sedang sibuk menyiapkan peralatan di samping tempat tidurku. Aku rasa inilah waktunya. Rintihanku semakin keras. Begitu pula dengan kontraksi ini, semakin kuat dan sakit sekali rasanya. Kata dokter, tinggal satu lagi pembukaanku sudah lengkap. Diajarinya aku mempersiapkan fisik dan mental menghadapi persalinan yang sudah ada di depan mata. Aku hanya mengangguk-angguk saja.
Semua yang ada di ruangan ini sungguh sangat panik ku lihat. Mereka sepertinya sudah tak sabar menunggu saat. Apalagi aku, semua perasaan dalam dada bercampur menjadi satu, keluar bersama rintihan dan tangisan yang tiada henti. Di saat aku berada dalam kesakitan yang tiada tara itu, suara dering telepon Ibu berbunyi. Samar ku dengar Ibu menjawabnya dengan suara terbata-bata. “Istrimu mau melahirkan Nak, ini sudah mau pembukaan lengkap, doanya ya Nak… Iya… Iya… Mau ngomong dulu sama istrimu Nak?”, begitu percakapan Ibu ku dengar. “Suamimu Nduk…”, kata Ibu sambil berlinangan air mata menyerahkan ponselnya kepadaku. Aku segera menyambutnya, tak ku pedulikan lagi kontraksi yang menyerang semakin bertubi.

“Halo Mas…”, kataku di sela-sela isakan.
Sayang, yang kuat ya, aku bantu doa disini, udah jangan mikirin apa-apa, yang penting kumpulkan semua kekuatanmu untuk melahirkan anak kita. Kamu pasti kuat, kita hadapi ini sama-sama ya”, begitu kata suamiku, persis seperti dalam bayanganku tadi.
“Iya Mas…”, ucapku lirih.
“Yasudah, sekarang fokus ya Sayang, nanti kalo….”, brakkkk. Tuut—tut—tuut. Telepon terputus. Aku menghela nafas panjang sambil menahan segala kesakitan. Mungkin sudah tidak ada signal lagi di sana, begitu pikirku. Tetapi ada sebuah kekuatan yang menyertaiku saat ini. Tak ku rasakan lagi sakitnya kontraksi yang datang bertubi-tubi. Kata-kata suamiku baru saja terus terngiang-ngiang seakan membakar semangatku untuk bisa kuat dalam menghadapi ini  semua.

Sampai pada akhirnya, tepat tengah malam saat hari berganti, terdengar suara tangisan kecil nan nyaring dari seorang bayi mungil memecah ketegangan di ruangan ini. Aku telah berhasil melahirkannya di dunia ini. Ragaku rasanya sudah tak ada daya, mataku masih terbelalak dan mulutku masih menganga. Lalu aku tersadar setelah mendengar suara “Selamat ya Bu, anak Ibu telah lahir dengan selamat dan sehat. Laki-laki Bu…”, kata perawat sambil menyerahkan manusia kecil nan merah itu untukku. Aku tak bisa berkata-kata. Lidahku kelu, meski dalam hati ucapan syukur itu seolah tak mau berhenti. Airmata ku tak terbendung lagi. Segala rasa sakit luar biasa yang hampir dua hari ini menyiksaku, terhapus sudah kala ku tatap matanya yang sayu. Ku peluk dan ku dekap erat dia di atas dadaku, ku ciumi dia berkali-kali dengan bibirku. Ku sentuh jemari mungilnya dan rasanya sungguh sangat luar biasa bahagianya. Sungguh aku tak sabar memberi kabar untuk Ayahnya di sana. Bahwa buah cinta kami berdua sudah ada dalam pelukan Ibunya.

(Ku dedikasikan untuk semua saudariku yg sedang hamil dan menanti kelahiran buah hati sendiri, tanpa suami di sisi. Tetap semangat ya Bunda.... Kau tidak sendiri. Semoga lancar, selamat sehat semuanya, aamiin...)

Rabu, 16 Desember 2015

Catatan Dari Selat Masalembo

Aku sangat lelah. Ya, aku sangat lelah. Berhari-hari terapung di tengah laut, kapal pun entah melaju kemana tak tentu arah. Besarnya ombak sejak dua hari lalu membuat kapal ini terbawa arus, sulit dikendalikan. Kami hanya bisa berdoa. Berdoa dan bekerja. Iya, di tengah ombang-ambingnya ombak itu, di tengah derasnya arus itu, kami harus tetap bekerja. Ada saja mesin yang bermasalah setiap harinya.
.
Padahal, fisik kami serasa tak kuat menahan pusing dan mualnya melawan ombak. Sudah berhari-hari ini, perutku hanya terisi beberapa gigitan biskuit dan air putih saja. Itu pun kadang harus keluar lagi ketika mual sudah tak tertahankan. Entah sudah berapa tablet anti mabuk yang aku telan beberapa hari ini, tetapi rasanya tak berpengaruh sama sekali.
.
Hari ini harus bergulat bersama mesin-mesin itu lagi. Tak peduli seberapa pusing dan mual yang setiap saat menghampiri. Kapal ini membutuhkan beberapa spare-part baru sebenarnya, tapi apa daya, tak ada signal sedikitpun untuk menghubungi office agar mereka mengetahuinya. Kami hanya bisa pasrah, semoga bongkahan besi ini dapat bertahan setidaknya sampai ombak mereda dan kami mendapatkan signal.
.
Kami berada di Perairan Masalembo, entah dimana tepatnya, tetapi yang jelas ombak di sini mendebur sampai 5 meter tingginya. Masyaallah…
.
Saat ini aku hanya berharap agar air kembali tenang seperti kaca. Agar pelayaran kami tentu arahnya. Dan aku berharap signal segera menghampiri, agar aku bisa segera memberi laporan kepada orang-orang kantor tentang keadaan kapal kami. Ya, keadaan kapal kami, bukan keadaan kami. Kapal kami yang membutuhkan spare-part baru, kapal kami yang mengalami kendala ini itu. Tentang keadaan kami, yang hampir sekarat melawan ombak, biarlah menjadi rahasia kami, jangan sampai ada yang tahu, bahwa kami sempat sangat lemah, sempat merasa takut tak bisa kembali.
.
Dan untukmu yang di sana, yang mungkin sedang khawatir akan keadaan suamimu, tolong maafkan aku, bila nanti ada signal menghampiri dan aku tak sempat menghubungimu, itu karena aku lebih dulu menghubungi atasanku. Tak ada alasan lain, itu pun demi masa depan kita. Tolong mengertilah… Ini hanya sementara… Saat ini aku pun sedang merindukanmu, sangat merindukanmu.
.
“…semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa… Percayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulang melepas semua kerinduan yang terpendam…” (Dewa 19 : Kangen).
.
***
.

Terimakasih Charlie...

--- Port of Makassar, Agustus 2011---
.
Akhirnya ku lihat juga daratan. Setelah berhari-hari terombang-ambing di tengah lautan. Tepatnya pukul 23.30 WITA, kapal ini mulai berlabuh di dekat pelabuhan. Mengantre untuk bisa bersandar di dermaga. Ku lihat di kejauhan sana, gemerlap lampu kota yang seakan menyambutku dengan mesra. Makassar. Sebuah tujuan dengan seribu perjuangan. Dalam hati aku mengucap beribu syukur, akhirnya selamat juga kapal ini sampai di sini.
.
Aku sendirian di kamar. Suamiku sedang standby di control room menjalankan rutinitasnya jika kapal sudah mau bersandar. Sedikit banyak, sekarang aku mulai terbiasa dengan jadwalnya sehari-hari di kapal ini. Suamiku bertugas jaga di control room mulai pukul 04.00 sampai pukul 08.00, selanjutnya jika ada pekerjaan di kamar mesin atau hanya sekedar mengecek mesin, dia lanjut bekerja lagi pukul 09.00 sampai pukul12.00. Pukul 12.00 sampai pukul 16.00 kalau memang tidak ada trouble yang berati, dia bisa istirahat. Biasanya dia akan bermain game di kamar, bermain catur bersama temannya, atau tidur sambil menunggu giliran jaga. Tetapi selama aku disini, dia lebih banyak menemaniku. Menghabiskan waktu di kamar atau mengajakku berjalan-jalan keliling kapal sambil menjawab beribu pertanyaanku. Sore harinya dia harus bertugas jaga lagi mulai pukul 16.00 sampai pukul 20.00, dan selepas itu adalah waktu istirahatnya, jika mesin aman terkendali tentunya. Tetapi jika memang ada trouble besar di kapalnya, tidur satu menit pun dia tak merasakannya.
.
Oh… Alangkah panjangnya perjuangan dalam sebuah perjalanan ini. Aku melamun sejenak membayangkan hari-hari kemarin yang ku lalui di tengah lautan. Betapa kami di sini membutuhkan banyak sekali keberuntungan, campur tangan Tuhan. Terbayang kemarin kapal ini oleng seharian penuh. Membuat badanku menjadi tak karuan rasanya. Pusing sekali, mau berjalan pun rasanya tak bisa, dan tak jarang aku pun mual-mual sampai muntah. Aku bersyukur sekali kami masih di beri keselematan sampai daratan.

Lamunanku buyar ketika telepon kamar berdering. Tentu saja suamiku, “Hei, kita sudah sampai Makassar Yank… Tapi maaf ya, aku harus kerja sampai pagi nih, mau ganti spare part dulu mumpung ada teknisi di sini. Besok subuh aku balik ke kamar. Kita ada waktu satu atau dua jam-an nginjek tanah Makassar, habis subuh sampai sebelum jam tujuh. Oke?”. Aku hanya tersenyum sambil mengiyakan. Ah… Sudah sampai di sini dengan selamat pun aku sudah sangat senang Mas…
.
Charlie ini adalah kapal container, ada sekitar 400-an peti kemas yang di angkut oleh kapal ini. Setiap sampai Makassar, seluruh peti kemas dengan berbagai barang di dalamnya ini akan di bongkar di pelabuhan dan akan di muat lagi peti kemas kosong untuk di bawa ke Jakarta. Begitu seterusnya. Perlu diketahui bahwa proses bongkar muat 400 container ini hanya memakan waktu tak kurang dari dua jam. Sangat cepat sekali. Maka bisa aku simpulkan, kapal ini hanya sebentar saja bersandar di pelabuhan, sudah tentu tak banyak waktu untuk suamiku menginjak daratan, membeli keperluan pun kadang tak sempat, apalagi untuk berjalan-jalan. Satu lagi asumsi orang tentang profesi suamiku ini terpatahkan. Bahwa katanya jika pelaut ketika menginjak daratan, ia akan ‘se-liar’ macan, sama sekali tidak terbuktikan.
.
Sudah tujuh hari telah aku habiskan di sini. Banyak sekali pelajaran yang aku dapati. Semua yang aku lihat dan aku rasakan di sini, benar-benar sangat mengubah fikiranku tentang suamiku selama ini.
.
Beberapa saat yang lalu, aku banyak mengeluhkan tentang dia. Tentang sikapnya yang seolah dingin akan hubungan kami. Tentang dia yang kurang perhatian, tentang dia yang menomorsatukan pekerjaan, dan… ah… banyak sekali hal buruk yang aku pikirkan tentang dia di sini….
.
Beberapa hari yang lalu, ketika kapal mulai memasuki perairan Masalembo, tangki kapal ini bocor. Air tawar persediaan kapal ini tercampur dengan air laut. Padahal baru sampai setengah perjalanan menuju Makassar. Bisa dibayangkan, masak, minum, mandi memakai air payau. Seumur hidup baru ku rasakan makan masakan dengan air payau, benar-benar tidak enak di mulut dan di perut. Berbagai aktifitas dengan menggunakan air pun di batasi. Masyaallah… Dan suamiku masih saja sempat mengucap syukur. Katanya keadaan seperti ini sudah biasa. Masih ada yang lebih buruk katanya, dulu bukan lagi air payau, tapi air laut. Mandi dan sebagainya pun memakai air laut yang bisa membuat gatal seluruh tubuh.
.
Ah… Seperti inikah hidupmu di sini sayang? Sementara di rumah sana, aku menikmati berbagai fasilitas yang ada dan sering lupa mengucap syukur. Dan lagi, aku pun masih saja berfikir buruk tentangmu? Oh… Betapa bodohnya istrimu ini. Seorang istri pelaut yang tak mengerti apapun tentang hidup seorang pelaut di lautan sana.
.
Malam ini rasanya tak bisa tidur, aku hanya memeluk jaket suamiku dan berharap dia diberikan segala kemudahan dalam perkejaannya di bawah sana. Pagi nanti ketika ku injak daratan di kota Makassar, aku akan mengucap janji pada diriku sendiri. Untuk lebih berfikir positif tentang apa yang dia lakukan di sini. Untuk lebih menghargai apa yang dia berikan kepadaku, apapun itu. Dan yang jelas, untuk lebih bersyukur dengan segala yang telah Tuhan karuniakan kepadaku, kepada kami, kepada keluarga yang akan kami bina nanti.
.
Tujuh hari di sini, ku dapati seribu pelajaran yang sangat berarti. Terimakasih Tuhan, terimakasih Sayang, terimakasih Charlie.

.
Akhirnya ku lihat juga daratan. Setelah berhari-hari terombang-ambing di tengah lautan. Tepatnya pukul 23.30 WITA, kapal ini mulai berlabuh di dekat pelabuhan. Mengantre untuk bisa bersandar di dermaga. Ku lihat di kejauhan sana, gemerlap lampu kota yang seakan menyambutku dengan mesra. Makassar. Sebuah tujuan dengan seribu perjuangan. Dalam hati aku mengucap beribu syukur, akhirnya selamat juga kapal ini sampai di sini.
.
Aku sendirian di kamar. Suamiku sedang standby di control room menjalankan rutinitasnya jika kapal sudah mau bersandar. Sedikit banyak, sekarang aku mulai terbiasa dengan jadwalnya sehari-hari di kapal ini. Suamiku bertugas jaga di control room mulai pukul 04.00 sampai pukul 08.00, selanjutnya jika ada pekerjaan di kamar mesin atau hanya sekedar mengecek mesin, dia lanjut bekerja lagi pukul 09.00 sampai pukul12.00. Pukul 12.00 sampai pukul 16.00 kalau memang tidak ada trouble yang berati, dia bisa istirahat. Biasanya dia akan bermain game di kamar, bermain catur bersama temannya, atau tidur sambil menunggu giliran jaga. Tetapi selama aku disini, dia lebih banyak menemaniku. Menghabiskan waktu di kamar atau mengajakku berjalan-jalan keliling kapal sambil menjawab beribu pertanyaanku. Sore harinya dia harus bertugas jaga lagi mulai pukul 16.00 sampai pukul 20.00, dan selepas itu adalah waktu istirahatnya, jika mesin aman terkendali tentunya. Tetapi jika memang ada trouble besar di kapalnya, tidur satu menit pun dia tak merasakannya.
.
Oh… Alangkah panjangnya perjuangan dalam sebuah perjalanan ini. Aku melamun sejenak membayangkan hari-hari kemarin yang ku lalui di tengah lautan. Betapa kami di sini membutuhkan banyak sekali keberuntungan, campur tangan Tuhan. Terbayang kemarin kapal ini oleng seharian penuh. Membuat badanku menjadi tak karuan rasanya. Pusing sekali, mau berjalan pun rasanya tak bisa, dan tak jarang aku pun mual-mual sampai muntah. Aku bersyukur sekali kami masih di beri keselematan sampai daratan.

Lamunanku buyar ketika telepon kamar berdering. Tentu saja suamiku, “Hei, kita sudah sampai Makassar Yank… Tapi maaf ya, aku harus kerja sampai pagi nih, mau ganti spare part dulu mumpung ada teknisi di sini. Besok subuh aku balik ke kamar. Kita ada waktu satu atau dua jam-an nginjek tanah Makassar, habis subuh sampai sebelum jam tujuh. Oke?”. Aku hanya tersenyum sambil mengiyakan. Ah… Sudah sampai di sini dengan selamat pun aku sudah sangat senang Mas…
.
Charlie ini adalah kapal container, ada sekitar 400-an peti kemas yang di angkut oleh kapal ini. Setiap sampai Makassar, seluruh peti kemas dengan berbagai barang di dalamnya ini akan di bongkar di pelabuhan dan akan di muat lagi peti kemas kosong untuk di bawa ke Jakarta. Begitu seterusnya. Perlu diketahui bahwa proses bongkar muat 400 container ini hanya memakan waktu tak kurang dari dua jam. Sangat cepat sekali. Maka bisa aku simpulkan, kapal ini hanya sebentar saja bersandar di pelabuhan, sudah tentu tak banyak waktu untuk suamiku menginjak daratan, membeli keperluan pun kadang tak sempat, apalagi untuk berjalan-jalan. Satu lagi asumsi orang tentang profesi suamiku ini terpatahkan. Bahwa katanya jika pelaut ketika menginjak daratan, ia akan ‘se-liar’ macan, sama sekali tidak terbuktikan.
.
Sudah tujuh hari telah aku habiskan di sini. Banyak sekali pelajaran yang aku dapati. Semua yang aku lihat dan aku rasakan di sini, benar-benar sangat mengubah fikiranku tentang suamiku selama ini.
.
Beberapa saat yang lalu, aku banyak mengeluhkan tentang dia. Tentang sikapnya yang seolah dingin akan hubungan kami. Tentang dia yang kurang perhatian, tentang dia yang menomorsatukan pekerjaan, dan… ah… banyak sekali hal buruk yang aku pikirkan tentang dia di sini….
.
Beberapa hari yang lalu, ketika kapal mulai memasuki perairan Masalembo, tangki kapal ini bocor. Air tawar persediaan kapal ini tercampur dengan air laut. Padahal baru sampai setengah perjalanan menuju Makassar. Bisa dibayangkan, masak, minum, mandi memakai air payau. Seumur hidup baru ku rasakan makan masakan dengan air payau, benar-benar tidak enak di mulut dan di perut. Berbagai aktifitas dengan menggunakan air pun di batasi. Masyaallah… Dan suamiku masih saja sempat mengucap syukur. Katanya keadaan seperti ini sudah biasa. Masih ada yang lebih buruk katanya, dulu bukan lagi air payau, tapi air laut. Mandi dan sebagainya pun memakai air laut yang bisa membuat gatal seluruh tubuh.
.
Ah… Seperti inikah hidupmu di sini sayang? Sementara di rumah sana, aku menikmati berbagai fasilitas yang ada dan sering lupa mengucap syukur. Dan lagi, aku pun masih saja berfikir buruk tentangmu? Oh… Betapa bodohnya istrimu ini. Seorang istri pelaut yang tak mengerti apapun tentang hidup seorang pelaut di lautan sana.
.
Malam ini rasanya tak bisa tidur, aku hanya memeluk jaket suamiku dan berharap dia diberikan segala kemudahan dalam perkejaannya di bawah sana. Pagi nanti ketika ku injak daratan di kota Makassar, aku akan mengucap janji pada diriku sendiri. Untuk lebih berfikir positif tentang apa yang dia lakukan di sini. Untuk lebih menghargai apa yang dia berikan kepadaku, apapun itu. Dan yang jelas, untuk lebih bersyukur dengan segala yang telah Tuhan karuniakan kepadaku, kepada kami, kepada keluarga yang akan kami bina nanti.
.
Tujuh hari di sini, ku dapati seribu pelajaran yang sangat berarti. Terimakasih Tuhan, terimakasih Sayang, terimakasih Charlie.

Akhirnya aku mengerti...

--- Laut Jawa, Agustus 2011---
.

Kapal ini sudah berlayar sejak kemarin pagi, entah sudah sampai mana. Yang bisa ku lihat dari balik jendela kamar ini hanyalah bentangan lautan yang seakan tiada bertepi. Ku dengar dari suamiku, selepas sholat subuh tadi, kami sedang mengarungi Laut Jawa, yang selama ini hanya bisa ku lihat dalam peta. Tepat tiga hari aku berada di kapal ini. Jangan membayangkan kami sedang asyik berbulan madu, karena suamiku, sejak kemarin sore berada di bawah sana, di kamar mesin, bekerja tanpa kenal lelah, tanpa kenal waktu. Dia kembali ke kamar hanya jika ingin menunaikan ibadah sholat. Selebihnya, dia mengecek keadaanku melalui telepon kapal. “Lagi ngapain Yank? Bosen ya? Maaf ya, masih banyak kerjaan. Nanti aku suruh koki kirim makanan ke kamar.” Biasanya itu yang dia katakan. Aku hanya meng-iya kan saja. Dalam hati aku semakin mengerti, bahwa pekerjaan suamiku memanglah sangat menguras waktu, tenaga dan fikiran. Dan tiba-tiba rasa bersalah itu menyeruak dalam dada… Tentang ego ku yang selama ini menuntut waktunya hanya untuk memperhatikanku… Ah… Bodoh sekali istrimu ini Mas…
.

Beberapa saat aku melamun membayangkan beratnya beban yang harus dirasakan suamiku. Seketika lamunanku buyar saat ku dengar ketukan pintu dan panggilan mesra suamiku di balik pintu. Ku buka dan ku sambut suamiku dengan senyuman. Ku lihat seluruh bajunya yang berlumuran oli dan wajahnya yang kusam belepotan penuh dengan noda-noda hitam. Di tengah-tengah matanya yang sayu itu, ku lihat senyuman yang tak mampu ku lupakan. Senyuman di tengah lelahnya raga, senyuman di antara letihnya jiwa, senyuman di atas beratnya beban atas masa depan.
.

Ah… Bahkan dalam keadaanmu yang seperti ini, kau selalu saja meyakinkan bahwa “Aku gak papa, gak capek kok, udah biasa…” dan sebagainya… Oh… Pandai sekali kau sembunyikan letih itu Sayang. Padahal aku sangat tahu, kau amat lelah, tetapi demi aku, kau sembunyikan segala rasa yang menyiksamu itu. Maafkan aku Suamiku… Selama ini ternyata aku tak begitu mengerti perjuanganmu di sini…
.
***
.
(Masih mengenang 4 tahun yang lalu, ketika mulai memahami betapa profesinya tak seperti yang ku pikirkan selama ini. Maafkan aku ya Yah  )
.
‪#‎catatanistriseorangpelaut‬

Kamis, 13 Agustus 2015

Melepas Rindu...

Tanjung Priok-Jakarta, Agustus 2011 . Seperti mimpi rasanya. Bahagia. Rindu ini akan segera bertemu dengan pemiliknya. Aku sedang menantinya menjemputku di depan pintu gerbang JITC (Jakarta International Container Terminal). Jantungku berdegup kencang seakan ini adalah pertemuan pertamaku dengannya. Rasa senang, cemas dan gelisah bercampur menjadi satu. Ah… Rasa ini sangat sulit diungkapkan. . Degupan kencang jantungku seakan berhenti saat melihat sosoknya di kejauhan sana. Berjalan semakin cepat seakan tak sabar menuju tempat ku berdiri. Semakin dekat dan semakin jelas ku lihat senyumnya mengembang sambil berlari memelukku. Ku sambut pelukannya, ku dekap erat seakan tak mau terpisahkan lagi. Oh Tuhan… Terimakasih atas pertemuan ini. Kami tak dapat berkata apapun, tapi mata dan hati kami seolah berbicara, mengatakan bahwa kami saling merindukan, dan bahagia dengan adanya pertemuan. Suamiku memegang erat jemariku, sembari berjalan dengan penuh semangat, mengajakku segera menemui kapalnya. Sepanjang perjalanan di antara koridor-koridor peti kemas itu, setiap kali bertemu orang, dia tersenyum sangat bahagia sambil berkata, “Hai Pak, ini istriku…”. Ah… Aku tersenyum malu melihat kelakuannya. Aku tahu, dia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya yang menggelora saat ini. Seolah dia ingin semua orang tahu bahwa istrinya datang untuk menemaninya berlayar meski hanya beberapa hari. . Sebuah kapal besar dan kokoh berdiri tegak di hadapanku. Aku hanya tercengang sampai menghentikan langkahku. Maklum, seumur hidup belum pernah satu kali pun aku melihat kapal sebesar ini. Suamiku hanya tersenyum dan menarik tanganku untuk segera menuju ke sana. . KM. Charlie. Ku ucap bismillah lalu ku naiki tangga kapal ini satu persatu. Ku dengar bisikan lirih suamiku tepat di telinga kananku, “Inilah tempat rejeki kita berada Sayang, di sini ku gantungkan sebuah harapan besar untuk masa depan kita. Temani aku berlayar sebentar saja, lalu kau akan mengerti, bagaimana aku menghadapi semua ini.” Aku tak mampu menjawab, hanya sebuah anggukan pasti sebagai tanda bahwa aku siap menemani dia berlayar meski hanya beberapa hari. Akan ku nikmati, akan ku renungi, akan ku pahami, bagaimana sebenarnya dia dapat bertahan di sini. . Ku salami beberapa awak kapal di sini. Mereka semua sangat ramah. Senyum-senyum mereka sangat merekah, seolah mereka ikut merasakan apa yang sahabat mereka rasakan. “Selamat datang Olive… Kami belum pernah melihat teman kami tersenyum selebar itu, kami tahu, dia pasti sangat senang dan bangga bisa membawa istrinya ke sini, nikmatilah… Berlayarlah bersama kami…” Aku hanya tersenyum, merasakan ada sebuah persahabatan indah di sini. . Ah… Tak sabar aku melihat lautan, tempat dimana suamiku berlalu- lalang… Dalam hati aku berdoa, semoga angin, ombak, dan segalanya dapat bersahabat dengan kapal ini hingga selamat sampai tujuan. *** (Mengenang bahagianya 4 tahun yang lalu berbulan madu di atas ombang-ambingnya ombak Laut Jawa-Sulawesi. Berharap kelak bisa merasakannya lagi.)